Usang

 Cerita ini hanya fiksi..


Hujan dibulan November kala itu menjadi saksi bisu atas rasa sakitku dan menjadi awal cerita ini.

Masih membekas dalam ingatanku sore itu aku, tangan kiriku sibuk memegang payung kuning juga satu kantong plastik barang yang baru saja aku beli dari supermarket terdekat dan tangan kananku yang asyik memegang es krim.

Aku lihat kau yang tengah duduk sendiri di halte bus dengan earphone yang menutupi kedua telingamu. Aku duduk di bangku yang sama denganmu dengan jarak yang terlihat jelas, kau di ujung kanan dan aku di ujung kiri, kusibukkan diri dengan es krim yang masih ada di genggamanku. Kita sibuk dengan dunia kita masing-masing, namun semuanya buyar ketika dering ponselku berhasil mengalihkan semuanya. Kau menatapku dengan tatapan yang sangat sulit aku artikan dan kemudian kau pergi berlari menerobos derasnya hujan sore itu. Tanpa kau sadari, kau berhasil meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku hari itu. Apa arti tatapan itu? 

Ku kira sore itu memang menjadi pertemuan kita yang pertama dan terakhir kali, ternyata salah. Semesta ternyata sudah menyiapkan cerita yang tidak kita ketahui.

Kita dipertemukan lagi dalam suasana yang berbeda, dalam acara bazar amal kita kembali berjumpa. 

Singkat ceritanya semuanya berubah hanya karena sebuah sapu tangan yang menjadi perantara kita untuk mengenal satu sama lain hari itu.

Hari demi hari ternyata kita semakin dekat dan kita tidak pernah kehabisan topik pembicaraan setiap kali kita menghabiskan waktu berdua. Bercerita banyak hal dari keluarga, teman, hingga hal yang tidak penting seperti pengalaman kita yang benar - benar memalukan kita ceritakan semuanya. Dan semua ketakutanku menjadi kenyataan ketika kau berkata jika kau membenci sebuah cinta dalam sebuah pertemanan. Kau mengatakan hal itu sambil menatapku dan bertanya,

 "Kau tidak punya perasaan apapun kepadaku kan?" 

Dengan canggung aku menggelengkan kepalaku dan berkata tidak mungkin aku punya perasaan suka kepadanya.

 Namun, hari itu aku berbohong.

Aku menyukainya.
Aku menyukainya sebagai sebagai seorang pria bukan sebagai seorang teman. Aku menyukainya. Tapi dia membencinya. Dan aku belum siap jika akhirnya kita kembali menjadi dua orang asing lagi. Aku yakin bisa menyimpan rasa ini sendirian.

Kupikir setelah aku mengetahui satu fakta hari itu, aku kira diriku masih bisa bersikap seperti sebelumnya, ternyata tidak. Aku mulai berperang dengan diriku sendiri kala itu, hati dan otakku benar - benar tak bisa sejalan. Dia mulai merasa jika aku berubah, dia merasa jika akhir - akhir ini aku sulit sekali untuk diajak jalan dan aku selalu menolak dengan berbagai alasan setiap kali dia mengajakku untuk menghabiskan waktu bersama. 

Aku mulai menghindar karena aku mulai tidak bisa mengontrol perasaanku kepadamu dan aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena memiliki perasaan lebih kepadamu sedangkan kau hanya menganggapku tidak lebih dari seorang teman

Akhirnya aku memutuskan untuk melakukannya. Keputusan bodoh yang aku ambil hari itu. 

Aku yang awalnya takut ditinggalkan olehmu tapi memberanikan diri untuk tidak peduli dengan ketakutan itu, jika memang nantinya kau akan pergi meninggalkan dan membenciku setelah tahu fakta ini aku rasa aku sudah siap, walaupun aku tahu nantinya akan ada sebuah penyesalan di akhir aku rasa tak masalah.

Aku berhasil mengatakan perasaanku semuanya kepadamu tapi yang aku dapat hanya tatapan datar darimu dan kau ucapkan kata 'selamat' yang benar - benar membuatku hancur hari itu, yah sebuah kata perpisahan itu kau ucapkan. Aku benar - benar ditinggalkan, bahkan kau meninggalkan diriku dengan sebuah kebencian. Kenapa? Salah ya jika aku punya perasaan ini kepada temanku sendiri? Apakah ada larangan bagi perempuan untuk mencintai teman laki-lakinya? 

Sejak saat itu kau benar - benar menghilang, bahkan aku pun ragu untuk menanyakan kabarmu rasanya aku sudah tidak memiliki wajah hanya sekedar berkata 'hai' kepadamu.

Di bazar amal akhir tahun kau ajak seorang perempuan yang sudah tidak asing bagiku, dia teman sekelasmu. Dan kalian berkata jika kalian sedang menjalin sebuah hubungan asmara. Tubuhku membeku tapi hatiku rasanya seperti baru saja terkena sambaran petir di siang bolong. Aku seperti ditertawakan alam semesta kala itu. Sebenarnya label teman yang kau berikan kepadaku itu yang bagaimana? 

Aku memang punya 'rasa' kepadamu, tapi aku tak pernah meminta kau untuk membalasnya. Hanya karena aku tak bisa mengontrol perasaanku bukan menjadi alasan kau bisa dengan seenaknya memutuskan semuanya. Aku suka kamu, itu hakku. Kamu benci aku, itu hakmu. 

Yah sepertinya menjadi 'asing' adalah takdir yang tepat untuk kita dari awal, ahh tidak lebih tepatnya aku dan kamu karena kata 'kita' terlalu ambigu untuk diucapkan dalam cerita ini.






 







Komentar